Kamis, 25 April 2024
Dany Garjito | Aditya Prasanda : Kamis, 17 Januari 2019 | 21:00 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Guideku.com - Lampu temaram. Di atas panggung, hanya ada tumpukan kotak burung, meja kayu berwarna cokelat dan mendadak sebiji telur menggelinding.

Seorang pria mengenakan kupluk abu-abu masuk, gerak geriknya perlahan, menghampiri satu per satu properti di atas panggung.

Sesekali tingkah lucu pria yang dimainkan aktor Gianmarco Stefanelli memantik gelak tawa penonton yang didominasi anak yatim piatu dari berbagai panti asuhan di Yogyakarta.

(Guideku.com/Adit)

Kaia Vercammen, memerankan seorang wanita berambut emas dengan pakaian biru dan beludru di pundaknya, turut serta. Geraknya yang gemulai, menggoda si pria, mereka bermain-main, mengitari panggung, saling menjahili satu dan lainnya bak anak kecil yang belum genap usia remajanya.

Tak lama, seorang wanita lain yang diperankan Tessa Wouters bergabung ke panggung. Bertiga mereka mengaduk imajinasi penonton dengan gerak tari teatrikal nan menawan meski tak sepenuhnya dapat dimengerti.

Tari teatrikal tersebut berjalan selama kurang dari satu jam, menilik durasi panggung yang dibuka pada pukul 19.30 WIB dan selesai sekitar pukul 20.20 WIB.

(Guideku.com/Adit)

Guideku.com, Selasa (16/1/2019) malam menyambangi Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, menyaksikan tari teatrikal, 'Flying Cow' yang digagas pusat kebudayaan Belanda di Indonesia, Erasmus Huis bekerja bersama Warta Jazz tersebut.

Dalam konferensi pers yang kami ikuti sehari sebelumnya, tari teatrikal yang dimainkan kelompok tari asal Belanda, De Stilte ini memang ditujukan khusus untuk anak-anak namun tak menampik kemungkinan dapat disaksikan penonton lintas usia.

(Guideku.com/Adit)

Kaia Vercammen, salah seorang penari yang turut tampil menyebut Flying Cow menyajikan begitu banyak elemen multi tafsir yang membebaskan penonton menyelami imajinasi terdalam mereka.

Saat menyaksikan di hari H, meski kami tak sepenuhnya bisa memahami maksud penampilan tersebut, kami cukup beruntung dibekali pengetahuan dari deskripsi dan penjelasan kelompok tari De Stilte yang dalam rilisnya menyebut tari ini menceritakan tentang kisah persahabatan anak kecil.

Beberapa adegan begitu fotogenik, tatkala hembusan daun diterbangkan dari sisi panggung, hingga saat si pria mengenakan ember putih menyaru seekor anjing.

Beberapa kali pula koreografi mereka memantik decak kagum dan tawa meski sekali lagi tak sepenuhnya bisa dipahami bahkan bagi orang dewasa.

Betapapun penampilan ini tidak sepenuhnya cacat, sebab sedap dipandang dan dapat dinikmati, tentu kami bertanya-tanya seberapa jauh penampilan ini membekas pada banyak penonton yang mayoritas anak-anak tersebut?

Sebab bahasa gerak multi tafsir yang disajikan De Stilte cukup membuat kami mengrenyitkan dahi sembari berusaha menyederhanakan pikiran dan menikmati pertunjukan malam itu dengan seksama.

(De Stilte x Erasmus Huis Official)

Ah, mungkin saja pikiran kami yang terlalu banyak menuntut pemaknaan di balik setiap kejadian. Belum tentu hal yang sama dirasakan kawan-kawan kecil kami.

Toh ini pertunjukan, sebuah perayaan yang dapat dimaknai setiap orang, di lubuk hati mereka yang terdalam.

BACA SELANJUTNYA

Tari Teatrikal Flying Cow Siap Aduk Imajinasi Penonton di Yogyakarta