Rabu, 24 April 2024
Dany Garjito : Kamis, 14 Maret 2019 | 12:12 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Guideku.com - Mengapa di dunia ini, selalu menertawai, hidupku yang hina ini

Berteman dengan seorang gadis, mengapa semua manusia, menghina kehidupannya, mencari nafkah hidupnya

Sebagai seorang pramuria.

Penggalan tembang lawas dari Boomerang tersebut tampaknya masih relate di zaman sekarang. 

Suara kodok cukup kencang saling bersahutan sepanjang jalan menuju sebuah kampung di Subang, Jawa Barat, Rabu (6/3/2019) malam pekan lalu.

Wajah kampung itu tak tampak berbeda dengan desa-desa kecil lain. Suasana pedesaan kental terasa: bebunyian binatang malam berpadu dengan sepi dan penerangan yang temaram.

Hamparan sawah mengelilingi perumahan warga yang cenderung sunyi dan terpencil. Kalau dari Pemanukan, Jalur Pantura, membutuhkan waktu sekitar 30 menit agar sampai di sana.

Oleh warga setempat maupun orang-orang luar, daerah itu populer dengan sebutan Kampung Cinta, tempat gadis-gadis belia direstui oleh orangtuanya untuk menjajakan diri di rumah-rumah mereka sendiri.

Kampung Cinta tak tampak seperti lokalisasi prostitusi pada umumnya. Tak ada ingar-bingar gemerlap prostitusi. Tapi di sana, terdapat banyak rumah berisi para pelacur belia.

Mereka rata-rata masih belia, dari 16 sampai 25 tahun. Bahkan, tak sedikit yang masih duduk di bangku SMA.

Sabila, bukan nama sebenarnya, sudah setahun lebih menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Gadis 16 tahun ini sudah berhenti sekolah dan menjadi pelacur rumahan untuk membantu ekonomi keluarganya.

Praktik prostitusi tersebut ia lakukan di rumahnya sendiri, dengan sepengetahuan orangtua.   

"Saya biasa 'main' dengan tamu di rumah sendiri, kadang di luar. Sehari saya dapat tamu dua. Bapak tahu saya kerja begini (PSK), di kampung saya sudah biasa," ungkap Sabila kepada Suara.com.

Orangtuanya mengizinkan, karena Sabila membantu biaya kebutuhan keluarga. Bapaknya pekerja serabutan. Ibu, mengurus rumah tangga.

"Saya begini untuk membantu orangtua, untuk biaya kebutuhan keluarga," kata sulung dari tiga bersaudara ini.

Sebelas dua belas dengan Fifi, bukan nama sebenarnya, yang juga berlaku sama. Ia sudah satu setengah tahun belakangan menjadi PSK. Fifi hanya lulusan SMP.

Fifi adalah orang asli kampung itu. Tapi kini, ia memilih menjadi PSK di luar Kampung Cinta. Gadis 18 tahun ini menjajakan dirinya via media sosial, seperti Facebook, Wechat, Instagram dan WhatsApp.

"Kalau saya mainnya di Subang (Kota), enggak di kampung," ujarnya.

Anak sulung dari 4 bersaudara ini mengakui, pekerjaannya melacurkan tubuh sudah diketahui orangtua. Ibunya yang tak bekerja, mengizinkan.

Fifi menjual tubuhnya kepada pria hidung belang untuk membantu ekonomi keluarga dan biaya sekolah adik-adiknya.

Sabila (nama samaran), seorang PSK di Kampung Cinta. [Suara.com/Erick Tanjung]

"Saya kerja begini untuk membantu orangtua dan adik-adik saya. Uangnya setiap minggu saya kasihkan ke ibu buat belanja dapur dan kebutuhan keluarga," ujarnya.

Fifi mengakui, terjun menjadi PSK berawal dari ajakan temannya untuk bekerja di sebuah diskotik di Kota Subang. Di tempat hiburan malam itu, ia menjual kemolekan tubuhnya ke pria iseng.

Dalam semalam ia bisa melayani antara dua sampai tiga pria. Ia memasang Rp 500 ribu.

Fifi punya pengalaman memilukan saat berusia 16 tahun.

BACA SELANJUTNYA

Asal-usul Nama Majalengka, Ada Kaitan dengan Julukan 'Kota Angin'?