Minggu, 28 April 2024
Dany Garjito | Amertiya Saraswati : Jum'at, 24 Januari 2020 | 18:00 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Guideku.com - Wilayah Kampung Ketandan tentunya sudah tak asing bagi Anda yang tinggal di Yogyakarta. Sementara bagi wisatawan, Kampung Ketandan dapat menjadi salah satu destinasi untuk dikunjungi yang ada di area Jalan Malioboro.

Kampung Ketandan sendiri sebenarnya sempat viral beberapa waktu silam. Pasalnya, gapura merah yang ada di depan kampung tersebut terlihat bak dari Negeri Tirai Bambu.

Wajar, Kampung Ketandan selama ini memang dikenal sebagai daerah pecinannya Yogyakarta. Meski demikian, Ketandan ternyata punya sejarah panjang dan bukan cuma kampung pecinan semata.

Masuk ke daerah Kampung Ketandan, travelers memang bisa melihat aneka ornamen khas Tionghoa yang menghiasi rumah-rumah.

Selain itu, aneka kuliner non-halal yang legendaris di Jogja hingga deretan toko emas juga bisa ditemukan.

Meski begitu, Kampung Ketandan ternyata lebih tepat disebut sebagai kampung pecinan peranakan karena sejarah panjang akulturasi yang ada di sana.

Kampung Ketandan, Yogyakarta (Suara.com/Dewi Yuliantini)

"Jika dilihat dari gaya arsitektur bangunan saja ada tiga budaya. Tionghoa, Jawa, dan Eropa. Dari fasadnya, pasti tahu kalau ini tiga budaya," jelas Tjundoko, ketua RW di Ketandan sekaligus pemilik salah satu toko emas di sana.

"Lebih spesifiknya ya ini pecinan peranakan Tionghoa," tambahnya saat diwawancarai Guideku.com pada Selasa (14/01/2020).

Bukan cuma dari bangunan, penduduk di Kampung Ketandan sendiri sudah lama mengalami akulturasi budaya. Maka dari itu, istilah pecinan peranakan dirasa lebih tepat.

Usia Kampung Ketandan sendiri sudah terhitung tua. Kampung ini rupanya telah ada sejak 230 tahun silam dan dibangun hampir bersamaan dengan Pura Pakualaman.

Kampung Ketandan, Yogyakarta (Suara.com/Dewi Yuliantini)

Nama Ketandan sendiri berasal dari kata "tondo" atau julukan untuk petugas pajak waktu itu.

Dahulu, area Ketandan merupakan tempat pemukiman para pejabat pajak tersebut. Lantas, di tahun 1990-an, Kampung Ketandan mulai berkembang menjadi area perdagangan.

Kala itu, warga di Ketandan mayoritas berdagang bahan-bahan pokok serta jamu. Lantas, sekitar tahun 1950-an, orang-orang Tionghoa di sana pun beralih menjual emas karena melihat perkembangan pasar.

Hingga kini pun, deretan toko emas masih bisa ditemukan menghiasi sisi kanan dan kiri jalanan di Ketandan.

Selain memiliki sejarah panjang, Kampung Ketandan juga merupakan tempat bermukim seorang Kapitan Tionghoa bernama Tan Jin Sing.

Dahulu, nama Tan Jin Sing begitu dikenal karena dirinya sukses diangkat menjadi bupati oleh Sultan Hamengkubuwono III.

Kampung Ketandan, Yogyakarta (Suara.com/Dewi Yuliantini)

Kini, jumlah keluarga di Kampung Ketandan yang merupakan penduduk asli sejak zaman berdirinya dulu memang hanya segelintir saja. Paling tidak, hanya ada 2 sampai 3 keluarga yang masih bertahan menetap di Ketandan.

Meski begitu, tak bisa dipungkiri jika Kampung Ketandan telah menjadi simbol akulturasi dan perbedaan budaya yang hidup berdampingan secara harmonis.

"Di sini ada orang Banjar, ada orang Jawa, ada Tionghoa, mereka sudah berdampingan lebih dari 100 tahun dan tidak ada masalah," tegas Tjundoko.

Nah, travelers tertarik untuk datang kemari dan melihat sendiri keunikan yang ada di Kampung Ketandan Yogyakarta?

BACA SELANJUTNYA

Malaysia Larang Penjualan Minuman Khas Indonesia, Bisa Didenda Rp33 Juta