Minggu, 28 April 2024
Caca Kartiwa : Sabtu, 18 November 2023 | 09:00 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Guideku.com - Kota Salatiga, yang terletak di lereng Gunung Merbabu dan berada di antara Semarang dan Surakarta, menyimpan asal-usul yang unik yang terkait dengan legenda dan prasasti kuno.

Terbilang kota kecil, namun Kota Salatiga mempunyai beragam objek wisata menarik yang bisa dikunjungi wisatawan lokal, luar kota, hingga mancanegara.

Mempunyai nama yang unik, bagaimana asal-usul nama kota Salatiga?

Menurut folklore yang berkembang, penamaan Salatiga memiliki hubungan dengan tiga kesalahan pada masa Sunan Kalijaga.

Pada masa lalu, Salatiga dipimpin oleh Bupati Ki Ageng Pandan Arang, yang juga dikenal sebagai Pandanaran.

Ki Ageng terkenal karena kegemarannya memuaskan diri dengan kekayaan dan membebankan pajak berlebih kepada rakyatnya.

Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pak tua, tukang rumput, yang menolak memberikan rumputnya dengan alasan untuk ternak.

Meskipun ditolak, Ki Ageng meminta rumput tersebut dan memberikan sekeping uang sebagai gantinya.

Tanpa diketahui oleh Ki Ageng, pak tua menyelipkan kembali uang tersebut dalam tumpukan rumput yang dibawanya. Kejadian ini berulang hingga Sang Bupati menyadari perbuatan pak tua tersebut.

Ki Ageng marah dan menganggap Pak Tua telah menghinanya. Tiba-tiba, pak tua berubah wujud menjadi Sunan Kalijaga, seorang pemimpin agama yang sangat dihormati.

Ki Ageng segera bersujud dan memohon ampun, dan Sunan Kalijaga memaafkannya dengan syarat bahwa Ki Ageng harus meninggalkan seluruh kekayaannya dan mengikuti Sunan Kalijaga dalam perjalanan mengembara.

Namun, istri Bupati melanggar syarat tersebut dengan membawa emas dan berlian yang dimasukkan ke dalam tongkat.

Di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh perampok. Sunan Kalijaga memerintahkan perampok itu untuk mengambil harta yang dibawa oleh istri Bupati.

Setelah perampok pergi, Sunan Kalijaga berkata, "Aku akan menamakan tempat ini Salatiga karena kalian telah membuat tiga kesalahan. Pertama kalian sangat kikir. Kedua, karena sombong. Dan ketiga karena telah menyengsarakan rakyat. Semoga tempat ini menjadi tempat yang baik dan ramai nantinya."

Jika merujuk ke sumber tertulis, prasasti Plumpungan menjadi dasar sejarah Kota Salatiga. Dalam prasasti ini, tercatat bahwa Salatiga menjadi wilayah perdikan atau swatantra dari kewajiban pajak atau upeti pada tahun 750 Masehi.

Raja Bhanu, seorang raja besar pada zamannya, memberikan wilayah perdikan ini, mencakup Salatiga dan sekitarnya.

Prasasti Plumpungan menunjukkan perhatian raja terhadap kesejahteraan rakyatnya dan memberikan kekhususan tertentu pada wilayah tersebut.

Prasasti Plumpungan, berjenis andesit dengan ukuran besar, menjadi bukti historis penting dalam penentuan hari jadi Kota Salatiga, yang ditetapkan pada tanggal 24 Juli tahun 750.

Raja Bhanu menulis dalam bahasa Jawa kuno dan bahasa Sansekerta, mengukir ketetapan hukum yang memberikan status tanah perdikan atau swatantra bagi desa hampra, yang kini menjadi bagian dari wilayah administrasi Kota Salatiga.

Disebutkan, Prasasti Plumpungan terdapat nama seorang dewi Siddhadewi atau yang lebih dikenal sebagai Dewi Trisala.

Dewi Trisala dikenang dan dipuja dengan sangat tinggi. Dan sebagai bentuk penghormatan, tempat ibadahnya diberi nama Trisala.

Dalam konteks linguistik, secara hukum bahasa, istilah Tri-Sala memiliki kemiripan jika dibalik menjadi Sala-Tri.

Konon, kini, penyebutan nama tersebut berkembang dan dikenal sebagai Salatiga.

BACA SELANJUTNYA

Air Supply Gelar Konser di Indonesia 1 Desember 2023: Catat Tempat dan Harga Tiket